#skip to content | #skip to menu | #skip to footer

Malika.



June 26, 2009 |

“Malika, kamu seharusnya bersyukur, nak. Kamu masih punya tempat tinggal, kamar yang nyaman, tempat tidur dan bantal yang empuk. Coba kamu lihat diluar sana, banyak anak-anak yang tidurnya hanya beralaskan kardus dan selimutnya koran bekas, atapnya beton kolong jembatan, dan terkadang nyamuk dan hawa dingin menggerayangi tubuh mereka. Sementara mereka gak minta lebih dari itu. Kamu gak malu sama mereka? Coba kamu bercermin, kamu sudah cukup beruntung, Malika!”

* * *




Disudut lain, dikamarnya Malika, dengan wajah yang ditekuk seperti jeruk purut busuk, Malika ngedumel sendiri, dan tangannya sibuk mencabik-cabik bantal dan berharap bantal itu robek dalam sekejap. Tak lama kemudian Ibu masuk ke kamarnya, “ada apa sih Malika? Ngomong dong sama ibu.. jangan seperti anak kecil begini ah! Ibu gak suka!” namun Malika tetap kekeuh untuk diam plus wajahnya menjadi tambah masam. “yasudah, kalau kamu gak mau cerita! Kamu pendam saja sendiri. Liat tuh muka kamu! Jeruk purut aslinya aja kalah jeleknya sama kamu!” seru ibu kesal.

Dan ketika akan beranjak keluar dari kamar, Malika memanggil ibunya seperti anak kecil yang popoknya basah minta diganti, suaranya bergetar karena kepingin nangis pun tidak bisa. “ibuuu…uu..!! ibu kok gitu sih?? Ibu sama ayah kok lupa!?” jerit Malika sambil mengucek-ucek matanya, berharap air matanya bisa keluar agar si ibu tak tega melihatnya. “ibu sama ayah lupa apa?”, tanya ibu pelan. “tuuh kaann.. beneran lupa! Ibu sama ayah kan pernah janji mau renovasi kamar ini!” balas Malika sambil kembali mencabik-cabik bantal yang kapasnya sudah nongol diujungnya. “ooh, jadi karena itu..! maaf ya nak, ibu lupa! Tapi sepertinya keinginan itu harus ditunda dulu deh..” ujar ibu sambil mengelus rambut putrinya. “lho kenapa!?” tanya Malika terkejut. “hmm.. kamu kan tahu sendiri, ayah sedang keluar kota dua bulan ini. Disana ayah harus beli makan sendiri, sementara ayah juga harus membiayai makan kita disini, uang yang dipakai jadi dua kali lipatnya, nak.”, jelas sang ibu. “jadi hubungannya apa?” tanya Malika yang emang benar-benar loading otaknya lama. “ya ampun Malika! masa kamu gak ngerti sih? Untuk beberapa bulan ini kita harus berhemat dong! Karena ayah sekarang membiayai dua dapur sekaligus!” .. “dua dapur??” Malika mengernyitkan jidatnya tanda semakin gak mengerti. “iya dua dapur! Artinya satu untuk biaya makan dirumah kita, kedua untuk biaya makan ayah disana. Ngerti gak kamu?” jelas si ibu dengan nada pelan dan berharap anaknya yang lemot itu bisa mengerti penjelasannya. “Malika, kamu seharusnya bersyukur, nak. Kamu masih punya tempat tinggal, kamar yang nyaman, tempat tidur dan bantal yang empuk. Coba kamu lihat diluar sana, banyak anak-anak yang tidurnya hanya beralaskan kardus dan selimutnya koran bekas, atapnya beton kolong jembatan, dan terkadang nyamuk dan hawa dingin menggerayangi tubuh mereka. Sementara mereka gak minta lebih dari itu. Kamu gak malu sama mereka? Coba kamu bercermin, kamu sudah cukup beruntung, Malika!” jelas ibu panjang lebar, kemudian berlalu keluar meninggalkan Malika dikamar.

Sementara itu Malika terdiam, tangannya yang sedari tadi mencabik-cabik si bantal yang sudah sekarat terhenti.Tak lama kemudian air matanya menetes. Ucapan ibunya merasuki pikirannya, dan sepertinya Malika baru tersadar betapa beruntung hidupnya dibanding anak jalanan diluar sana. Ia merebahkan badannya, dan mengusap tetesan air mata yang masih tersisa diujung bulu mata lentiknya, dan tak berapa lama kemudian, Malika pun tertidur lelap.

Short Story By : Neng Aia, Modified 6/4/2009, 01:47 AM